SAHABAT KECILKU
Karya Choirunnisa
Namaku
Nisa. Aku mempunyai seorang sahabat bernama Amel. Persahabatan kami sudah
terjalin cukup lama. Tiap hari kami selalu bermain bersama. Seperti anak kecil
pada umumnya, kami selalu menyusuri jalan kampung dari ujung ke ujung,
mengumpulkan dedaunan untuk kami jadikan bahan masak-masakan, hingga masak
sungguhan dengan alat masak mini yang memang dirancang untuk anak-anak seusia
kami.
***
Tiba
waktunya kami melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP. Aku melanjutkan ke SMP
terdekat, sedangkan Amel kembali ke Lampung untuk melanjutkan pendidikan.
"Kenapa
kamu balik ke Lampung? Sekolah di sini aja, sih," tanya Nisa.
Amel
tersenyum. "Aku kan ikut orang tua, Nis. Jadi, kemanapun mereka pergi, aku
harus ikut."
"Nanti
kita ketemu lagi, ya," ucap Nisa yang menahan tangis.
"Iyah.
Nanti kita ketemu lagi," jawab Amel sambil tersenyum.
Nisa
mengeluarkan kelingkingnya. "Janji?"
"Janji,"
jawab Amel.
Pertemuan
singkat sebelum Amel kembali ke Lampung ternyata membuatku terpukul. Aku tidak
lagi menemukan teman main sepertinya. Sepi, sangat sepi! Aku tidak menyukai
kesepian ini. Namun, aku harus tetap menjalani hidup meski tanpa kehadiran
Amel. Berulang kali kucoba mencapai teman seperti Amel, tapi tidak kutemukan.
Sejak
saat itu aku lebih suka menyendiri. Sampai pada waktu aku dan kedua orang tuaku
pindah rumah dan domisili. Menempati rumah hasil jerih payah kedua orang tuaku.
Aku sangat tidak nyaman berada di tempat baru. Berada di dekat orang-orang
baru, yang sebelumnya tidak pernah kukenal.
***
Waktu
kelulusan telah tiba. Kami sempat bertemu sebentar. Namun, kami harus berpisah
kembali untuk mengejar mimpi. Aku melanjutkan
pendidikan ke SMK. Sementara Amel, melanjutkan pendidikan di pondok
pesantren.
"Baru
juga ketemu, sekarang harus pisah lagi," ucap Nisa sedih.
"Iya,
Nis. Cepet banget pertemuan kita, ya." Wajah Amel pun terlihat sedih.
"Semoga
nanti kita bisa ketemu lagi ya," jawab Nisa.
"Aamiin."
"Sampai
bertemu lagi, Sahabat," ucap mereka bersamaan.
Kali
ini aku merasakan kehilangan seorang sahabat yang sudah kuanggap seperti
keluarga sendiri. Aku sadar akan hal itu. Lebih baik berpisah, tapi untuk
mewujudkan cita-cita masing-masing. Daripada berpisah, tapi untuk hal lain.
***
Satu
tahun sudah kami tidak berkomunikasi. Suatu hari aku mendapat pesan dari nomor
yang tidak dikenal.
Assalamualaikum Nis,
gimana kabar kamu? Ini aku, Amel.
Aku lagi libur sekolah,
makanya bisa hubungi kamu.
Semoga kamu sehat selalu,
ya.
Aku
masih belum percaya bahwa yang mengirim pesan singkat itu Amel. Ya, sahabatku
yang berada di pondok pesantren. Untuk memastikan hal itu, kubuka pesan secara
utuh. Ternyata benar. Pengirim pesan itu Amel. Aku sangat senang mendengar
kabar darinya.
Waalaikumsalam Mel. Aku
seneng banget dapet kabar dari kamu.
Aku kangen kamu, Mel.
Kabar aku baik. Kalau
kamu, gimana?
Kabar
itu membawa kami untuk saling bertemu. Bahkan, sehari penuh kami bersama. Saat
itu kami pergi ke sebuah tempat untuk sekadar menghabiskan waktu bersama, dan
tanpa ada gangguan dari siapapun.
"Gimana
sekolah kamu, lancar Nis?" tanya Amel.
"Alhamdulillah
baik, Mel. Kalau kamu, gimana nih udah jadi anak pesantren?" Nisa tertawa
kecil.
"Ya,
begitulah mondok. Aku pun kadang kesel banget," cetoteh Amel.
"Emang
kenapa, Mel?" tanya Nisa bingung.
"Pondok
itu banyak peraturan. Mau ngga mau harus dipatuhi," jelas Amel kesal.
"Oh,
iya ya. Yaudah, sekarang kita bahas lain aja ya. Kita kan lagi main bareng,
masa bahas soal pondok, sih." Nisa berusaha menenangkan hati Amel.
Amel
menjawab, "iya. Kita kan lagi quality time, ya."
Obrolan
kecil semacam itu menghabiskan waktu beberapa jam. Waktu sudah membatasi kami
untuk segera pulang sebelum matahari terbenam.
"Nis,
udah sore nih. Kita pulang, yuk!" ajak Amel.
"Yuk!"
jawab Nisa.
Kami
segera beranjak dari tempat duduk untuk menuju tempat parkir. Kali ini, Amel
menggantikan aku mengendarai motor. Meski lelah terasa, tapi kami sangat
bahagia. Sulit bagi kami mendapatkan momen seperti ini. Menghabiskan waktu
bersama.
***
Baru
saja sampai di teras rumah, pondok pesantren sudah menghantui pikiran Amel.
Sebentar lagi kamu harus
kembali ke pondok pesantren, Amel.
Ustad dan ustadzah sudah
menunggu.
Mereka rindu kamu.
"Ah,
sial, bentar lagi harus balik ke pondok," bisik Amel tiba-tiba.
"Kenapa,
Mel?" tanya Nisa.
"Eh,
ga ... pa ... pa, Nis," jawab Amel.
Aku
mengajak Amel untuk masuk ke dalam rumah. Sekadar duduk untuk melepas lelah.
Melihatnya seperti sedang banyak pikiran. Aku, sebagai sahabatnya, tidak
menginginkan hal buruk terjadi padanya.
"Kamu
baik-baik aja?" tanya Nisa.
"Baik,
Nis," jawab Amel.
Aku
memberikan segelas teh hangat kepada Amel agar keadaannya jauh lebih tenang.
Tiba-tiba Amel menangis. Teringat akan kepulangannya ke pondok pesantren. Kami
saling meneteskan air mata. Mendekap satu sama lain dengan pelukan, dan menahan
kerinduan sampai Ramadan tiba kembali.
"See
you next time, Sahabatku," ucap kami bersamaan.
Bionarasi
Choirunnisa,
gadis mungil yang masih duduk di bangku kelas 11, SMK Informarika Sukma Mandiri
Cilegon. Menurutnya, menulis itu sangat sulit. Namun, berkat tekad yang kuat,
dia berhasil menyelesaikan cerpen berjudul "Sahabat Kecilku". Cerpen
ini ditulis dalam ajang Lomba Menulis Cerpen Tingkat SMA/K/MA Provinsi Banten.
0 comments:
Posting Komentar